Proses Pembuatan Batik Tulis Lasem

Mau tahu cara membuat Batik Tulis Lasem? Pada dasarnya, pembuatan Batik Tulis Lasem prosesnya hampir sama dengan pembuatan batik tulis di daerah lain.

Batik Tulis Lasem Tiga Negeri

Untuk menghasilkan Batik Tulis Lasem Tiga Negeri, yakni Batik Tulis Lasem yang berwarna dominan: merah, biru, dan soga/coklat, langkahnya sebagai berikut:

Read more...

Ciri khas berdasarkan warna

Konon ciri khas batik lasem adalah warna merah yang berbeda dari warna serupa batik dari daerah lain. Pewarnaan penting pada batik lasem sehingga penamaannya dihubungkan dengan jenis atau komposisi warnanya.

Bang Bangan
Batik Tulis Lasem berwarna kombinasi merah

Biron:
Batik Tulis Lasem berwarna kombinasi Biru

Bang Biron
Batik Tulis Lasem berwarna kombinasi Merah dan Biru

Es The
Batik Tulis Lasem berwarna kombinasi Biru/Hijau +Soga/Coklat

Tiga Negeri
Batik Tulis Lasem berwarna kombinasi Merah+Biru/Hijau+Soga/Coklat

Empat Negeri
Batik Tulis Lasem berwarna kombinasi Merah+Biru/Hijau+Soga/Coklat+Ungu (violet)

Read more...

Terbang Bersama Batik Lasem

Sore itu orang-orang berkumpul di ruang tamu yang penuh kain mori putih yang baru digambari malam (sejenis lilin untuk membatik), kain batik setengah jadi, sampai kain batik dalam karung siap kirim. Seperti yang rutin terjadi sehari-hari, saat itu buruh batik menunggu pembagian upah.
Saat seperti itu adalah saat yang membahagiakan bagi Santoso Hartono, pemilik usaha batik lasem ”Pusaka Beruang”. Wajah para pekerja berbinar menerima hasil jerih payahnya. Meski bukan industri pabrikan, saat ini tercatat 754 tenaga kerja terlibat dalam usaha batik lasem milik Santoso. ”Jika tak berani memberi makan orang (lain), apa artinya kerja?” kata penerima penghargaan Upakarti Jasa Pelestarian saat itu.
Para pekerja tersebut dibayar dengan sistem borongan berdasarkan pencapaian mereka hari itu. Sekitar Rp 5 juta-Rp 7,5 juta per hari mesti disiapkan Santoso untuk pembayaran upah. Tak ada lagi cerita buruh yang hanya dibayar Rp 4.000 per hari sebagaimana terjadi tahun 1990. ”Sekalipun buruh, mereka harus hidup layak,” kata Santoso.
Tidak semuanya bekerja di rumah, sekaligus tempat usaha, Santoso di Jalan Jatirogo, Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Sekitar 40 orang bekerja di bengkel kerja di kawasan Karasjajar, Kecamatan Pancur—sekitar 4 kilometer dari kediaman Santoso di Jatirogo. Di situ berdiri bangunan sederhana untuk menampung para pembatik. ”Industri makin mendekat ke desa, tempat tinggal para pembatik,” kata Santoso.
Sentra batik di Rembang adalah Kecamatan Pancur, Pamotan, dan Lasem. Masing-masing kecamatan punya ciri khas. Penduduknya memiliki keahlian tersendiri dalam membatik.
Santoso juga turut menggulirkan ide mempromosikan batik lasem sekaligus pelestarian bangunan cagar budaya. Tempat pemasaran yang berada di jalan pantai utara Rembang- Lasem itu bernama Griya Batik Lasem. Bangunan kuno yang didirikan tahun 1800-an tersebut pernah dipakai untuk Kawedanan Lasem. Saat ini bangunan itu menjadi pusat pemasaran batik lasem para pengusaha kecil menengah yang bergabung dalam Koperasi Batik Lasem.
”Selama ini perajin tersebar di daerah pedalaman Rembang sehingga pembeli kesulitan mengakses produk-produk perajin,” kata Santoso. Dengan adanya pusat pemasaran di pantura, dia berharap mampu ”mencegat” pembeli luar kota yang melalui jalur itu.
  Generasi ketiga
Santoso merintis usahanya Maret 2005 dengan hanya empat pekerja saja. Ia memang mengenal batik sedari kecil. Anak kedua dari enam bersaudara pasangan Tirto Hartono (Ang Tjay Gwan)-Sri Endah Wahyuningsih (Djie Frieda) ini generasi ketiga pembatik di keluarganya. Namun, sekalipun karya keluarganya laku sampai ke Jawa Timur, bahkan Sumatera, usaha mereka tidak tergolong besar. ”Kalau tidak salah, sudah tutup sejak 1980-an,” kata Santoso.
Usaha batik kala itu memang tidak cukup menguntungkan. Belitan tengkulak yang menjadikan keuntungan amat tipis, hanya Rp 1.500 per potong. Pengusaha batik tiarap. Buruh batik megap-megap dan akhirnya batik lasem pun terkapar di dasar.
Lulus sekolah menengah atas, Santoso muda merantau ke Jakarta. Beragam pekerjaan dijalani, termasuk mengumpulkan plastik bekas pembungkus mi instan. ”Saya pernah mengalami gajian Rp 45.000 per bulan,” kenangnya. Saat itu dia bekerja di sebuah perusahaan mebel ternama di Cibinong.
Tahun 1999, Santoso memutuskan pulang ke Lasem. Menikah pada tahun 2000, pasangan Santoso-Andriana masih mencoba beragam pekerjaan, mulai dari pengepul palawija sampai jual beli tembaga.
Titik balik terjadi tahun 2005, ketika Santoso ikut pelatihan batik Dinas Perindustrian Kabupaten Rembang. Bermodal pinjaman Rp 15 juta, Santoso memulai usahanya. ”Perjudian” pertama terjadi Maret 2005 ketika Santoso mengikuti pameran di Jakarta. Hasilnya? ”Cuma dapat Rp 475.000,” katanya tertawa.

Read more...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Powered By Blogger

  © Blogger template Batik bagus by Xinatra 2011

Back to TOP