Terbang Bersama Batik Lasem

Sore itu orang-orang berkumpul di ruang tamu yang penuh kain mori putih yang baru digambari malam (sejenis lilin untuk membatik), kain batik setengah jadi, sampai kain batik dalam karung siap kirim. Seperti yang rutin terjadi sehari-hari, saat itu buruh batik menunggu pembagian upah.
Saat seperti itu adalah saat yang membahagiakan bagi Santoso Hartono, pemilik usaha batik lasem ”Pusaka Beruang”. Wajah para pekerja berbinar menerima hasil jerih payahnya. Meski bukan industri pabrikan, saat ini tercatat 754 tenaga kerja terlibat dalam usaha batik lasem milik Santoso. ”Jika tak berani memberi makan orang (lain), apa artinya kerja?” kata penerima penghargaan Upakarti Jasa Pelestarian saat itu.
Para pekerja tersebut dibayar dengan sistem borongan berdasarkan pencapaian mereka hari itu. Sekitar Rp 5 juta-Rp 7,5 juta per hari mesti disiapkan Santoso untuk pembayaran upah. Tak ada lagi cerita buruh yang hanya dibayar Rp 4.000 per hari sebagaimana terjadi tahun 1990. ”Sekalipun buruh, mereka harus hidup layak,” kata Santoso.
Tidak semuanya bekerja di rumah, sekaligus tempat usaha, Santoso di Jalan Jatirogo, Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Sekitar 40 orang bekerja di bengkel kerja di kawasan Karasjajar, Kecamatan Pancur—sekitar 4 kilometer dari kediaman Santoso di Jatirogo. Di situ berdiri bangunan sederhana untuk menampung para pembatik. ”Industri makin mendekat ke desa, tempat tinggal para pembatik,” kata Santoso.
Sentra batik di Rembang adalah Kecamatan Pancur, Pamotan, dan Lasem. Masing-masing kecamatan punya ciri khas. Penduduknya memiliki keahlian tersendiri dalam membatik.
Santoso juga turut menggulirkan ide mempromosikan batik lasem sekaligus pelestarian bangunan cagar budaya. Tempat pemasaran yang berada di jalan pantai utara Rembang- Lasem itu bernama Griya Batik Lasem. Bangunan kuno yang didirikan tahun 1800-an tersebut pernah dipakai untuk Kawedanan Lasem. Saat ini bangunan itu menjadi pusat pemasaran batik lasem para pengusaha kecil menengah yang bergabung dalam Koperasi Batik Lasem.
”Selama ini perajin tersebar di daerah pedalaman Rembang sehingga pembeli kesulitan mengakses produk-produk perajin,” kata Santoso. Dengan adanya pusat pemasaran di pantura, dia berharap mampu ”mencegat” pembeli luar kota yang melalui jalur itu.
  Generasi ketiga
Santoso merintis usahanya Maret 2005 dengan hanya empat pekerja saja. Ia memang mengenal batik sedari kecil. Anak kedua dari enam bersaudara pasangan Tirto Hartono (Ang Tjay Gwan)-Sri Endah Wahyuningsih (Djie Frieda) ini generasi ketiga pembatik di keluarganya. Namun, sekalipun karya keluarganya laku sampai ke Jawa Timur, bahkan Sumatera, usaha mereka tidak tergolong besar. ”Kalau tidak salah, sudah tutup sejak 1980-an,” kata Santoso.
Usaha batik kala itu memang tidak cukup menguntungkan. Belitan tengkulak yang menjadikan keuntungan amat tipis, hanya Rp 1.500 per potong. Pengusaha batik tiarap. Buruh batik megap-megap dan akhirnya batik lasem pun terkapar di dasar.
Lulus sekolah menengah atas, Santoso muda merantau ke Jakarta. Beragam pekerjaan dijalani, termasuk mengumpulkan plastik bekas pembungkus mi instan. ”Saya pernah mengalami gajian Rp 45.000 per bulan,” kenangnya. Saat itu dia bekerja di sebuah perusahaan mebel ternama di Cibinong.
Tahun 1999, Santoso memutuskan pulang ke Lasem. Menikah pada tahun 2000, pasangan Santoso-Andriana masih mencoba beragam pekerjaan, mulai dari pengepul palawija sampai jual beli tembaga.
Titik balik terjadi tahun 2005, ketika Santoso ikut pelatihan batik Dinas Perindustrian Kabupaten Rembang. Bermodal pinjaman Rp 15 juta, Santoso memulai usahanya. ”Perjudian” pertama terjadi Maret 2005 ketika Santoso mengikuti pameran di Jakarta. Hasilnya? ”Cuma dapat Rp 475.000,” katanya tertawa.

Namun, itulah awal. Pesanan kemudian mengalir. Pengalaman itu membuat Santoso terhitung rajin berpameran, sekalipun butuh minimal Rp 17,5 juta untuk sekali pameran di Jakarta. ”Tetapi dampaknya jangka panjang,” katanya.
Inovasi
Keunggulan batik lasem adalah murni batik tulis, tanpa teknik colet atau celup sebagaimana dipraktikkan di banyak sentra batik di daerah lain. Selembar kain batik lasem bisa dihargai Rp 100.000-Rp 700.000.
Sekalipun kondisi sekarang relatif lebih baik, Santoso berharap pemerintah terus menggairahkan industri batik, semisal dengan tetap mempertahankan kewajiban berseragam batik bagi pegawai negeri. ”Ibaratnya, gunung boleh digali, laut boleh dikuras, hutan boleh ditebangi, tapi batik tetap jalan,” kata Santoso yang kini hanya sanggup dua tiga jam membatik. Waktunya lebih banyak tersita untuk mengelola usahanya.
Bagi pengusaha batik, untuk dapat bertahan, kuncinya terletak pada inovasi dan pengembangan kualitas ataupun menggenjot kuantitas. Inovasi mutlak diperlukan karena tantangan semakin berat. Misalnya saja, gempuran kain printing bermotif batik lasem yang harganya hanya separuh batik lasem asli.
Bagi Santoso, dinamika tidak berarti mengabaikan pakem. Kiatnya, warna khas batik lasem—semisal merah marun, biru, coklat, dan ungu— tetap dipertahankan. Namun, motif tetap harus dinamis. Beberapa motif batik lasem yang terkenal adalah kendiri ukel, latohan abangan, parang sekar es teh, lasem sekar jagat, lasem pasiran, dan lasem lerek lung-lungan. Bersama Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi, dan UMKM Kabupaten Rembang, Santoso berupaya mematenkan 20 motif batik dari 200 motif yang ada.
Di tengah kebangkitan kembali usaha batik lasem, generasi pembatik makin tua. Santoso pun memikirkan regenerasi. Santoso menggelar pelatihan batik bagi anak-anak setahun sekali. Pelatihan yang merupakan kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Rembang itu kerap disebut ”Sekolah Bocah Canting”. Biasanya digelar di belakang Griya Batik Lasem. ”Saya mempunyai keinginan, pemerintah bekerja sama dengan pengusaha batik membina anak-anak, terutama yang putus sekolah, menjadi generasi penerus batik lasem,” katanya.
Didukung sebuah bank nasional, dia membuka Batik Village Area di Dusun Ngropoh, Desa Pancur, Kecamatan Pancur, Rembang, 9 Februari 2011. Semua itu dijalankannya dengan impian agar para pengusaha batik lasem maju bersama dan para pembatik tetap terpenuhi kesejahteraannya.
Bukan jalan yang mudah. Tidak semua orang sepaham. ”Tetapi, kalau tidak dilakoni, mana tahu kita hasilnya?” kata Santoso.

Source: kompas

0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Powered By Blogger

  © Blogger template Batik bagus by Xinatra 2011

Back to TOP